Persahabatan yang di pupuk sejak lama, berakhir dengan derai air mata dan hati yang hancur. Ketika sebuah pengkhianatan dia lakukan dengan membuat luka di hati ini dan bahagia di hatinya. Seorang sahabat yang tahu tetapi tidak pernah mau mengerti tentang perasaan di hati ini.
“Hilda”
“Rifky”
Dan ku tahu ternyata dia bernama Rifky.
Waktu terus berjalan, aku mempunyai tiga orang sahabat, yang bernama Andini, Dini, dan Silla. Kita selalu bersama-sama dalam suka maupun duka. Kesan pertama ku kepada Rifky mulai aku lupakan saat ku tahu salah seorang sahabatku yang bernama Dini berteman dekat dengan Rifky.
Saat kita semua sedang belajar, kita berkumpul di bangku belakang tanpa bersama Dini.
“Eh..kalian kita curhat-curhatan yuk!!” ajak Andini.
“Ayo! Kita curhat-curhatan tentang orang yang kita sukai di kelas aja yuk!!” ajak Silla.
“Eh..kalau kalian suka sama siapa?” tanya ku.
“Sama Nawal” jawab Andini sambil tertawa malu.
“Kalau aku suka sama….Hary!” jawab Silla tersenyum.
“Kalau kamu Hilda, suka sama siapa?” tanya Andini.
“Emmh...Rifky” jawab ku sambil memikirkan kata-kata yang baru aku ucapkan. Karena teringat akan sahabatku yang dekat dengan Rifky. Kesan pertama saat aku melihat Rifky mulai teringat kembali.
Saat di sekolah, karena tidak ada guru semua siswa sibuk dengan urusannya masing-masing. Dan hari itu juga Dini tidak sekolah. Ketika kami duduk bertiga, tanpa sepengetahuan ku, Andini dan Silla menulis surat yang akan di berikan kepada Rifky. Hingga akhirnya mereka saling membalas surat demi surat yang membicarakan tentang aku dan perasaan ku pada Rifky.
Aku mulai heran dengan sikap Andini yang aku lihat kesana kemari membawa kertas sambil tertawa melihatku.
“Silla, kenapa Andini mondar-mandir sambil melihatku tertawa seperti itu?” tanya ku heran.
“Mau tau?? Seribu dulu dong!!” jawab Silla sambil tertawa.
“Yah kamu,,,uang terus maunya!” jawabku.
“Kasih tau dong!” pintaku.
“Ada uang baru ada ada barang.” Jawab Silla sambil tertawa lagi.
Tiba-tiba guru datang, dan Andini lari untuk duduk.
Sepulang sekolah aku masih penasaran dengan hal yang tadi di kelas. Akhirnya aku menelepon Silla untuk menanyakan hal yang tadi terjadi. Walaupun Silla tetap tidak memberitahukan semua tentang hal itu. Tetapi Silla janji akan memberitakukannya esok hari di sekolah.
Keesokan harinya, aku menanyakan kembali pada Silla dan Andini.
“Kalian…apa dong? Kan udah janji mau kasih tau sekarang!”
“Asal seribu dulu dong, baru kita kasih tau!” jawab Silla.
“Ya udah nih, tapi apa?” kata ku sambil memberi uang seribu pada Silla.
Andini tertawa melihatku.
“Udah nih suratnya, baca aja!” jawab Silla.
Setelah mendapat surat dari Silla, tak sabar aku langsung membuka kertas yang sudah robek dan kusam, karena berkali-kali berpindah-pindah tangan. Dan isinya…
^
Andini dan Silla : “Rifky jangan bilang-bilang orang sebenarnya yang suka sama
kamu itu Hilda bukan Dini. Kasihan Hilda dia cemburu, maka dari
itu kita bilang ke kamu.”
Rifky : “Yah…kalian, emangnya siapa yang bilang aku suka sama Dini?
bilangin juga ke Hilda, terima kasih karena udah suka sama aku.
tapi diantara kalian berempat aku cuma menganggap teman kalian
semua.”
Andini dan Silla : “Kamu udah punya pacar? Siapa?
Bukannya mau ikut campur ya kita berdua, tapi kita hanya kasihan
aja. Kita juga perempuan kalau digituin sakit hati. Tapi kata Silla,
Dini tuh hanya memberi harapan palsu ke banyak laki-laki. Tapi
Hilda dari dulu merhatiin kamu, dari mulai perkenalan. Jadi kamu
hargain dia, setidakya sedikit lah.
Rifky : “Ga usah tau ya!!
yang penting kalau udah putus sama dia aku ga akan cari
perempuan lagi atau jomblo sampai kelas XII, kalau masalah kasih
perhatian, kayaknya Hilda susah diajak kompromi.
Kalian berdua memang teman yang seru!”
^
Setelah membaca surat itu, aku menjadi tertantang dan memberanikan diri, karena Rifky bilang
“Kalau masalah kasih perhatian, kayaknya Hilda susah diajak kompromi”
Aku akan memberikan sesuatu kepadanya.
Tepat di hari ulang tahunnya, aku memberikan suatu hadiah dan surat yang sudah aku siapkan. Karena aku tidak berani memberikannya sendiri, aku meminta tolong kepada Silla dan Andini untuk memberikan surat dan hadiah itu kepada Rifky. Hatiku terasa lega saat surat dan hadiah itu telah diberikan kepada Rifky.
Keesokan harinya, Rifky memberikan surat balasan. Dengan acuh, dia melemparkan surat balasan itu ke atas meja. Dengan cepat Silla mengambil surat itu dan lari dengan Andini ke bangku belakang. Aku pun berlari dan berusaha mengambil surat itu dari mereka. Kemudian Silla dan Andini berlari keluar kelas dan mereka pun membacanya berdua, entah dimana tempatnya.
Aku pun berusaha mencari mereka berdua, karena aku penasaran dengan isi surat itu. Akhirnya aku pun menemukan mereka berdua yang sedang membaca surat balasan itu sambil tertawa. Aku pun berusaha merebut surat itu. Dan setelah aku mendapatkan surat itu, aku berlari ke kelas dan membacanya…
^
Pertama aku ucapin terima kasih yang banyak atas perhatian yang kamu kasih sama aku.
Jujur kalian adalah teman yang baik dan kuharap pertemanan ini bisa lama.
Masalah kompromi, aku bisa kok karena kita teman, dan kalau kamu mau, aku mau jadi sahabat kamu.
Pokoknya terima kasih atas perhatian kamu karena udah ngasih hadiah, dan kuharap kita bisa berteman atau sahabatan sampai waktu yang lama.
Hadiahnya aku terima yaa..
Terima Kasih Banyak
Dari aku untuk kamu pembuat surat!
^
Setelah membaca surat itu, aku membuat surat balasan. Dan surat itu di berikan oleh Andini dan Silla kepada Rifky. Tapi setelah itu tidak ada surat balasan lagi. Ya…sudahlah mungkin harapan aku terlalu besar.
Beberapa hari kemudian, saat di kantin, aku, Dini, dan Silla membeli minuman. Setelah minum, kami berjalan ke arah pintu keluar. Ternyata di sana ada Rifky dan seorang temannya.
“Duluan ya!” kata Silla, kepada mereka berdua.
“Duluan juga” kata Dini.
Aku hanya lewat seperti biasa tanpa berkata apapun. Kami diantar Silla sampai depan. Saat turun dari motor Dini mendapat sms.
^
Maaf ya tadi salam kalian ga aku balas!
^
Ternyata sms itu dari Rifky. Dini pun membalas.
^
Gak apa-apa ko, tpi ga tau tuh Hilda.
^
“Ih…apaan sih Dini?”
“Kamu punya nomor handphone nya Rifky?” tanya Silla pada Dini.
“Punya”.
“Aku minta dong!” pinta Silla.
“Ya udah nih!”
Setelah itu kami pulang ke rumah masing-masing.
Terfikir…padahal tadi aku juga minta nomor handphone nya Rifky, tapi aku ngerasa gak enak sama Dini. Tapi kenapa ya…mereka bisa saling tau nomor handphone satu sama lain?
Hari Senin ini semua siswa melaksanakan ulangan semester ganjil. Di sekolah ku, hari ini jadwalnya masuk siang.
Tepat pukul 12.30 aku sampai di sekolah dan masuk ke ruangan yang telah di tentukan. Ternyata aku hanya seruangan dengan Silla, karena Andini dan Dini di ruangan sebelah. Dan Rifky pun seruangan dengan Dini. Beberapa menit kemudian Silla pun datang. Dia datang dengan raut wajah yang berbeda seperti ada kegelisahan dan juga kecemasan. Dia pun duduk di belakang aku.
“Hilda, ada yang ingin aku ceritakan sama kamu, tapi…”
“Tapi apa?”
“Ah…ga jadi deh!”
“Yang bener dong! Jangan bikin orang penasaran!”
“Iya…iya deh. Jadi gini…”
Teet…teet…
Tiba-tiba bel berbunyi, cerita pun terpaksa harus di lanjutkan nanti.
Istirahat pun tiba, tak sabar aku ingin mendengar cerita dari Silla.
“Ayo dong cerita lagi, ada apa?”
“Jadi gini, dulu kan aku pernah minta nomor handphone Rifky ke Dini. Nah kemarin aku berniat isengin dia, aku bilang nama aku Dani. Terus kita saling balas sms. Rifky pun cerita-cerita sama aku. Dia cerita kalau dia itu lagi bingung sama perempuan yang suka sama dia. Aku bilang aja sambil bercanda bukannya kamu itu suka sama perempuan yang ngasih hadiah waktu kamu ulang tahun.” jawaban Silla terhenti, karena ia menghela nafas dahulu.
“Kamu bilang gitu? Terus gimana?” tanyaku.
“Mungkin dia penasaran aku bisa bilang kayak gitu. Dan kayaknya Rifky tanya ke Dini ini nomor handphone siapa. Karena Dini tau nomor handphone aku akhirnya Dini jawab kalau itu nomor aku. Saat kita saling membalas sms lagi dia menyudutkan aku, kalau aku itu Silla. Aku belum mau mengaku. Tapi dia mengancam aku akan benci kamu selama-lamanya. Akhirnya aku menelepon dia, dan aku akui kalau aku Silla. Kita terus mengobrol, sampai akhirnya dia bilang kalau dulu dia pernah suka sama aku. Maafin aku ya Hilda! Aku gak bermaksud apa-apa. Aku takut kamu kira aku ke GR an.”
“Iya gak apa-apa kok. Masih ada lanjutannya?”
“Udah sih, tapi masa dia suka sama setiap perempuan, jadi orang tuh gimana sih?”
“Kamu udah cerita tentang hal ini ke siapa aja?”
“Ke Andini dan kamu. Emang kenapa?”
“Tapi kok sikap Dini agak aneh sama kita, jadi kayak gimana gitu.”
“Iya…aneh, kayak…”
Lagi-lagi jawaban Silla terpotong karena ada pengawas datang.
Sepulang sekolah aku dan Silla ke ruangan Andini dan Dini. Tapi mereka berdua sepertinya sudah pulang duluan. Tidak biasanya mereka seperti itu.
Keesokan harinya saat jam istirahat giliran aku yang bercerita pada Silla.
“Kemarin Rifky sms aku…”
“Ehm…ada yang seneng dong!” Silla memotong cerita aku dengan celotehannya.
“Apa sih? Gak juga ah…Karena sms nya juga gak bikin aku seneng. Dia bilang tolong jangan ada pertengkaran diantara kalian. Terus dia kasih aku waktu 24 jam untuk nanya apa aja dan dia akan jawab jujur. Aku gak terlalu ngerti maunya apa. Tapi aku tanya aja
Di kelas, siapa yang kamu suka?
Kalian berempat, karena kalian gak sombong.
Lalu, diantara kita berempat siapa yang paling kamu suka?
Dan dia jawab, Dini.
“Wah…dia jawab gitu?” tanya Silla kaget.
“Iya dia jawab gitu. Terus kenapa dulu dia bilang kalau diantara kita berempat dia hanya menganggap kita semua itu teman? Tapi sekarang, dia yang bilang sendiri kalau dia itu suka sama salah seorang diantara kita. Dan tadi sebelum ulangan Dini bilang sama aku, kalau dia itu suka sama Rifky.”
“Apa?? Dia bilang gitu? Depan kamu? Gak punya perasaan atau gimana sih itu orang?”
“Iya dia yang bilang langsung depan aku. Kamu tau dong perasaan aku kayak gimana sama Rifky? Dan kamu juga tau kan kalau aku dan Dini itu sahabatan? Tapi…jadi kayak gini. Tapi kenapa dulu saat Rifky sms Dini, Dini balas dengan menyindir perasaan aku? Berarti dia itu tau perasaan aku ke Rifky. Tapi…”
“Sabar ya Hilda…!” Silla mencoba menenangkan aku.
“Saat aku mencoba sms Rifky dengan mengirimkan pesan yang berisi lagu Cinta Dalam Hati, ternyata aku adalah orang kedua yang mengirimkan pesan itu. Orang pertamanya adalah Dini. Dia malah terus membicarakan Dini. Dan dia bilang kalau dia akan melakukan sesuatu hal di semeseter genap.”
“Gak nyangka ya! Ternyata Dini seperti itu.”
“Aku udah gak tau lagi apa yang harus aku lakukan. Hati aku udah hancur.”
Aku langsung menghapus air mataku karena pengawas datang untuk mengawasi jalannya ulangan selanjutnya.
Seminggu setelah ulangan aku, Andini, dan Silla tidak sengaja memergoki kalau Dini dan Rifky sedang pulang jalan kaki berdua.
Keesokan harinya aku bertanya pada Dini.
“Kemarin mau kemana?”
“Gak kemana-mana kok.”
“Pulang bareng ya?”
“Em…Gak” Dini menjawab tergesa-gesa dan langsung berlari keluar kelas.
Kenapa dia masih tidak mau mengaku, padahal jelas-jelas aku melihat mereka sedang jalan berdua.
Suatu hari, Rifky sms Silla dan dia bilang kalau dia udah jadian sama Dini. Sms itu langsung Silla diskusikan dengan Andini dan Dini. Silla dan Andini mendesak Dini untuk mengatakan yang sejujurnya kepada aku. Dan meminta Dini untuk tidak membohongi aku lagi.
Esoknya, Dini minta maaf kepadaku
“Maafin aku ya Hilda, aku tuh gak pernah jadian sama Rifky. Kamu tuh suka sama Rifky? Ya udah buat kamu aja!”
“Ya udahlah…toh mau digimanain lagi hati aku juga udah terlanjur sakit. Rifky untuk kamu atau untuk aku juga, gak akan mengobati rasa sakit aku. Aku minta kamu itu jangan bohong lagi!”
“Iya aku janji, aku gak akan bohong lagi.”
Aku langsung meninggalkan Dini. Dan berharap dia tidak akan berbohong lagi.
Tapi mungkin dia hanya menganggap janji itu seperti daun yang gugur, yang akan hilang terbawa angin. Ada temanku yang mengatakan kalau kemarin Dini itu pergi ke rumah Rifky. Aku pun hanya ingin membuktikan kebenaran itu. Karena temanku punya buktinya.
“Dini, kemarin pulang sekolah main kemana?”
“Gak kemana-mana, langsung pulang kerumah.”
“Oh ya? Bukannya kamu ke rumah Rifky dulu?”
Dini terlihat nampak kaget.
“Gak. Langsung pulang kok.”
“Masih gak mau ngaku?”
“Lalu ini apa?” Aku memperlihatkan bukti yang di bawa oleh teman aku, berupa foto.
Dini pun tak bisa mengelak lagi.
“Dini,,,maaf. Aku bukan orang yang suka di bohongin. Aku juga telah memperingatkan kamu untuk tidak lagi berbohong. Mungkin, hanya sampai di sini kita bersama-sama.”
Di hadapan aku telah ada Andini, Silla, dan juga Rifky.
“Pergilah Rifky bila itu yang kau mau. Namun mulai saat ini aku tak ingin mengenalmu lagi. Begitu berartikah Rifky dimatamu Dini, hingga kau lupa siapa aku, aku sahabatmu yang selalu mempercayaimu. Aku terluka, sungguh terluka, tak percaya serendah itukah aku dihargai. Aku terluka, sungguh terluka, tak percaya semudah inikah akhir persahabatan kita. Sungguh tak percaya, tetapi inilah akhir persahabatan kita.”
“Hilda…” Dini mencoba menghentikan aku.
“Maafkan aku…mungkin persahabatan kita memang harus berakhir seperti ini. Yang kau mulai sendiri dengan kebohongan yang kamu buat. Dulu aku maafkan kebohongan kamu, tapi apa? Kamu ulangi lagi…”
“Hilda maafin aku!” pinta Dini.
“Dan Rifky, sebenarnya ku tak pernah bisa terima kau mencintainya, ku relakan meski ku tak rela.”
“Lalu kita gimana?” tanya Andini dan Silla.
“Terserah kalian. Maaf, aku gak suka persahabatan yang didalamnya hanya ada kebohongan. Dini, inilah akhir persahabatan kita, semoga kalian bahagia.”
Setelah semua kebohongan terungkap aku pun hanya menganggap Dini sebagai teman biasa. Sekalipun Dini duduk di belakang aku, jarang sekali aku mengobrol bersamanya. Mungkin ini yang dia inginkan, karena dia bisa lebih bebas bersama Rifky. Bahkan mereka sudah tidak sembunyi-sembunyi lagi untuk pulang berdua dan juga duduk berdua sekalipun ada aku.
***
No comments:
Post a Comment